JellyPages.com

Sabtu, 07 Januari 2012

Kejernihan Merombak Kabinet

Belum lama ini ada sebuah isu yang cukup menghebohkan dunia politik di Indonesia.  Tak lepas dari berbagai kondisi kehidupan dunia politik yang ada di Indonesia ini. Setelah adanya kasus Gayus membuat masyarakat semakin resah akan adanya berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi di ‘atas’. Oleh karena itu, melihat kenyataan yang sudah begitu ‘semrawut’ para anggota dewan mengajukan hak angket mafia pajak. Dan akhirnya hank angket mafia pajak urung direalisasikan karena kalah suara dalam voting yang dilakukan. Ada yang sangat menarik dan mengejutkan dalam voting tersebut, Golkar dan PKS memilih untuk menyetujui adanya hak angket. Hal itu berarti kedua anggota koalisi itu berseberangan dengan pemerintah, padahal golkar adalah koalisi terkuat pemerintah.
Sebagi anggota koalisi, seharusnya mereka selalu mendukung segala hal yang menjadi kebijakan pemerintah. Tapi kali ini mereka justru bertentangan dengan pemerintah sebagai anggota koalisi mereka. Tentu saja hal itu langsung mendapat reaksi adaptif dari Partai Demokrat. Berhembus isu akan adanya reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Partai Demokrat terindikasi ingin menggatikan posisi menteri-mentri dalam kabinet yang berasal dari Partai Golkar dan PKS. Hal ini mengindikasikan bahwa koalisi terancam pecah. Ketika Partai Golkar dan PKS memilih untuk berseberangan dengan pemerintah, itu menunjukan adanya ketidak serasian dari makna koalisi itu sendiri. Mereka lebih memilih menyuarakan apa yang menjadi pemikiran merekadaripada mempertahankan perjanjian koalisi mereka dengan pemerintah. Banyak menteri-menteri yang berasal dari Partai Golkar dan PKS. Jika memang akan ada reshuffle kabinet dan banyak dari menteri yang berasal dari Partai Golkar dan PKS yang kemudian digantikan. Memang itu merupakan sebuah konsekuensi yang harus diterima.
Memang harus diakui jika yang namanya koalisi seharusnya selalu mendukung anggota koalisi yang lainnya. Akan tetapi, ketika anggota lain itu berada pada jalur yang salah apakah harus tetap didukung? Ibarat sebuah sepeda, agar dapat berjalan dengan baik, semua bagian dari sepeda tersebut harus bisa berfungsi sebagaiman mestinya. Jika ada yang tidak berfungsi atau rusak maka harus diperbaiki terlebih dahulu, jika tidak bisa diperbaiki maka bagian tersebut harus diganti, karena jika tidak diganti sepeda tersebut mungkin tidak bisa berjalan dengan baik atau bahkan malah tidak bisa berjalan sama sekali. Itulah perumpamaan dari koalisi pemerintah, anggota koalisi merupakan bagian yang tak terpisahkan. Jika ada anggota yang tak sejalan sudah seharusnya diingatkan tapi jika memang sudah tak bisa diingatkan apa boleh buat, perlu dicari anggota baru yang sejalan. Karena suatu pemerintahan jika memiliki berbagai pandangan dan tafsiran yang bertentangan yang berbeda akan sulit untuk mencapai tujuan bersama.
Meskipun baru berjalan kurang lebih 2 tahun, bisa saja koalisi pemerintahan benar-benar akan pecah, tak peduli Golkar adalah koalisi terkuat pemerintah. Mungkin saja Golkar justru akan menjadi oposisi pemerintah. Pasalnya, tak hanya kali ini Golkar dan PKS bersuara lantang berseberangan dengan pemerintah. Golkar dan PKS termasuk 2 partai yang dalam pemilu 2009 kemarin memiliki suara yang cukup besar, jadi tak heran jika mereka berani bersuara menyuarakan apa yang seharusnya disuarakan. Dalam kondisi seperti ini, pasti akan ada bargaining position di dalam pemerintahan. Koalisi bisa saja terus berlanjut jika ada hal-hal yang menjadi sebuah kesepakatan bersama antara partai-partai anggota koalisi tersebut. Jika memang sudah tidak sejalan, pasti akan terjadi perpecahan dalam koalisi itu. Dan tindakan selanjutnya pasti akan terjadi adalah adanya reshuffle atau  peggantian menteri-menteri. Entah kenapa jika ada koalisi yang pecah pasti akan ada menteri dari pihak partai yang diajak koalisi yang digantikan. Jika memang benar terjadi pergantian menteri, hendakya bukan hanya sebagai salah satu bentuk ‘balas dendam’ yang dilakukan oleh pemerintah karena merasa telah dikhianati dalam berkoalisi. Pemerintah harus tetap berpandangan jernih dalam melakukan penggantian menteri-menteri. Pemerintahan SBY-Budiono yang berakhir pada tahun 2014 nanti harus tetap menjaga konsistensi mereka dalam menjalankan pemerintahan yang baik dalam rangka mensejahterakan warganya.  Penggantian tersebut harus ditujukan untuk mencapai tujuan bersama, untuk mensejahterakan rakyat. Bukan untuk berbagi jabatan atau  melanggengkan kekuasaan saja.
Oleh: Isna Hidayat Mahasiswa PGSD FIP UNY, dalam Harian Jogja edisi Selasa 15 Maret 2011

Stigma Sosial vs Realitas

Harga minyak dunia yang kian melambung membuat pemerintah dalam hal ini Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kalangkabut mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Berbagai wacana telah digagas dan diusulkan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satunya dengan wacana pembatasan BBM bersubsidi. Bahkan Kementrian ESDM sempat berusaha menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa haram menggunakan BBM bersubsidi  bagi orang yang mampu. Suatu hal yang sebenarnyatidak ada sangkut pautnya dengan masalah agama. Kini ada wacana  lagi bahwa semua Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Wakil Rakyat di seluruh Indonesia wajib menggunakan BBM non subsidi. Akankah wacana tersebut akan terlaksana atau bernasib sama dengan wacana-wacana sebelumnya yang terbengkalai tanpa adanya realisai yang jelas?

Stigma sosial yang dimiliki oleh PNS dan Wakil Rakyat yang identik dengan kalangan menengah keatas menjadi alasan munculnya wacana tersebut. Namun yang patut dipertanyakan apakah stigma tersebut memang benar?
Faktanya banyak PNS yang hidup sederhana bahkan ada pns yang sampai berhutang banyak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Jika demikian apakah PNS dapat dikatakan termasuk dalam golongan kelas menengah keatas?  Ditengah beban kehidupan yang berat, terlebih di kota-kota  besar dengan tingkat biaya hidup lebih tinggi membuat para Pegawai Negeri Sipil tersebut harus mengatur keuangan mereka agar dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Belum lagi biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk anak-anak mereka. Meskipun pemerintah telah mengalokasikan dana yang cukup besar pada sektor pendidikan, namun hal tersebut belum dapat membebaskan warganya dari biaya pendidikan yang melambung.
Selain itu belum ada regulasi yang jelas terkait tata cara pelaksanaan dari wacana tersebut. Bayangkan saja bagaimana cara membedakan masyarakat yang merupakan PNS dan bukan PNS atau siapa yang merupakan Wakil Rakyat atau bukan Wakil rakyat? Perlukah menunjukan kartu pengenal sebelum membeli BBM.
Wacana diatas merupakan sebuah wacana yang kurang efisien untuk diterapkan dalam rangka mengatasi masalah subsidi pemerintah yang kian membengkak untuk BBM. Harga BBM non subsidi yang mencapai 2 kali lipat harga BBM bersubsidi jika dibebankan kepada semua PNS dan Wakil Rakyat tentu bukanlah sebuah pilihan yang bijak. Hal ini justru akan menambah beban kehidupan yang kian hari semakin berat. Pemerintah tidak bisa menyamaratakan kemampuan ekonomi mereka, karena tak semua PNS dan Wakil Rakyat termasuk dalam golongan menengah ke atas. Sehingga wacana tersebut harus dikaji lebih dalam lagi, jangan sampai terdapat sebuah kebijakan yang pada akhirnya justru membebani masyarakat dan bukan menjadi solusi yang tepat.
Oleh : Isna Hidayat Mahasiswa PGSD FIP UNY, dalam Harian Jogja Edisi Selasa 26 Juli 2011